Get Lost in Sabang, … then #iRun (part 1)
Gue baru balik dari Sabang. Remember the song? Dari Sabang sampai Meuroke, berjajar pulau-pulau??? Ya, gue baru balik dari Sabang, kota paling ujung di barat Indonesia, kota tempat titik 0 KM Indonesia berada. About a month ago, temen gue Dey & Erry, ngajak sambil setengah maksa untuk ikut #GetLostMagz travel ke Sabang. And I said yes. Not only because I need vacation badly, tapi gue pikir kapan lagi bisa jalan-jalan ke Sabang, wisata anti-mainstream yang jarang gue lakukan?
Frankly speaking, Aceh, apalagi Sabang was not in my list of travel for leisure. If I have to set up vacation, pasti lagi-lagi akan ke Bali untuk pantainya, atau ke Yogya-Solo untuk batiknya. Nggak bosan dan gak pernah bosan sih. Tapi gue pikir, udah saatnya gue mengunjungi tempat-tempat lain yang agak sedikit anti-mainstream.
Lagi pula, Indonesia kan kaya dengan tempat-tempat indah, unik, dan selalu siap untuk diexplore? Lagi pula, bukannya sekarang gue punya kesenangan baru, map my run in every city I travel?
So I think, it’s time for me to #GetLost. Gue pergi ke Sabang, … …
Trip dimulai dengan kecemasan gue mikirin, “what should and should not to wear?”. Tanktop is definitely NO-NO to wear in the Banda Aceh city, but YES in the beach in Sabang. Swim wear is OK. in Sabang.
But how about my compression legging? Celana super ketat yang mamerin bentuk pantat ketika lari itu? Menutup aurat sih, tapi sekaligus memamerkannya. Sedangkan gue mau lari-lari di kota Sabang, lari-lari juga di Banda Aceh. Nggak pakai ketat, mana asyik?
But then I thought, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. So I packed, sambil digangguin Mochi, Momon dan Chicha. Pengen ikutan ya, sayang-sayangku??? … …
[ DAY #1 – Kamis, 5 Maret 2015]
Pagi-pagi jam 6, gue udah nyampai di Soekarno Hatta, ngumpul buat check-in bareng-bareng new new travel mates, meski pesawat jadwalnya baru jam 8.30. Kecepatan sih datang, tapi since travelnya ngikut closed trip-nya #GetLost magazine, ya udah, better ngikut jadwal aja. Arranging 27 persons to follow tight schedule bakalan jadi PR banget, dan gue gak pengen jadi “si-anu-yang-ngilang-melulu-bikin-acara-ngaret”.
Tapi pesawatnya yang delayed 1 jam. Lion Air. As predicted.
Perjalanan sendiri membutuhkan waktu 2 jam 50 menit, direct flight dari Jakarta ke Banda Aceh. Mendarat Sultan Iskandar Muda International Airport yang berarsitektur Islamic dengan atap kubahnya, gue disambut udara panas dan kering yang menyengat. Mataharinya pasti menghitamkan, dan gue gak pake sunblock.
Semua kelaperan, karena memang gak dipasih makan di pesawat. Thank God, vacation started with culinary for “Ayam Tangkap”, makanan khas Aceh di Warung Nasi Hasan 3, tak jauh berkendara dari bandara. Super enak, dan swear bukan karena gue kelaperan aja, tapi emang beneran enak. I am a big fan of dish yang dimasak dengan rempah-rempah yang banyak nan gurih: Ayam tangkap, digoreng kering dengan potongan daun pandan dan daun kari. Dan gue nambah nasi satu piring….
Habis makan, sholat Dzuhur di-jama’ Ashar, destinasi pertama adalah Museum Tsunami Aceh. Museum yang merupakan rancangan arsitek Ridwan Kamil, walikota Bandung itu, terletak tidak jauh dari Mesjid Raya Baiturrahman. Museum Tsunami didesain sangat cerdik untuk mengingatkan kembali bencana tsunami yang melanda Aceh tahun 2004 lalu.
Entrance dimulai dengan lorong gelap yang panjang dengan percikan air membasahi pengunjung yang lewat di dalamnya, dingin menyelimuti. Perasaan kemudian diombang-ambing ketika masuk ke dalam Ruang Sumur Doa, ruang melingkar dengan pahatan nama-nama korban mengeliling dari atas ke bawah, menuju rongga cahaya di langit-langit ruangan, di puncaknya terpatri kaligrafi Allah.
Kemudian gue melewati lorong melingkar naik ke atas dengan permukaan lantai yang terasa tidak rata bergelombang. Katanya, menggambarkan bumi yang bergoncang ketika gempa penyebab tsunami itu terjadi. Gue seakan di bawa jauh ke masa lalu dan merasakan kepanikan melanda seiring terjangan air laut. Ingin cepat-cepat keluar dari museum.
Kunjungan singkat ini begitu membekas, setidaknya membuat untuk tidak lupa selalu bersyukur.
Dari Museum Tsunami, rombongan bergerak menuju pelabuhan ferry Ulee Lheue, Pelabuhan ini pernah luluh lantak waktu tsunami 2004 lalu, tetapi sekarang sudah kembali ramai. Satu-satunya prasarana yang menghubungkan Banda Aceh dan Pulau Weh.
Dari Pelabuhan ini, dengan menumpang ferry cepat, rombongan menikmati pemandangan laut menuju Pulau Weh. Kurang lebih 1 jam menikmati angin laut, ferry sampai di Pelabuhan Bebas Sabang. Sudah sore, rombongan tidak punya waktu banyak untuk meluruskan kaki karena perjalanan harus segera lanjut untuk mengejar sunset di kota Sabang.
Menuju kota Sabang, rombongan berhenti sejenak di landmark “I Love Sabang” yang sedang dibangun untuk berfoto. Lalu lanjut ke Sabang Hill untuk menikmati sunset dari ketinggian perbukitan kota Sabang. Disuguhkan dengan pemandangan kota di pinggir pantai di dasar lembah, dengan matahari yang bulat jingga, gue berpikir, “holiday starts now!”
Tak lama matahari mulai tenggelam, meninggalkan semburat jingga di langit. Kami harus bergegas meninggalkan Sabang Hills, menuju hotel. Perjalanan masih jauh, sedangkan gue sudah merasa sangat capek.
Freddie’s Santai Sumur Tiga, tempat kami menginap cukup jauh dari pusat kota Sabang. Terletak
persis di tepi Pantai Sumur Tiga, bungalow ini memiliki villa-villa yang menghadap laut. Gak pernah gue merasa sedekat ini tidur di tepi pantai, mendengarkan suara debur ombak, menikmati angin laut bertiup kencang, bulan purnama menyinari teras kamar, rasanya akan jadi malam yang tidak terlupakan.
And
I
just
need
to
get
sleep,
now!
…
…