Get Lost in Sabang … then #iRun (part 3)
[ DAY #3 – Sabtu, 7 Maret 2015 ]
Bangun pagi ini gue kecapekan, rasanya nggak mau lari di jalan lagi. Jadi pagi ini gue cuma mau lari-lari di pantai aja. Ketika villa gue persis di pinggir pantai tinggal loncat aja sampai, what else to do than map my run on the beach? While Dey & kang Erry gak mau lari karena kecapekan maklum jomblo jompo, gue lari berdua aja ama Bayu.
Menyusuri pantai ke arah barat, seperti biasa lari cukup berat kalau di pasir. Pantai Sumur Tiga ini bukan jenis pantai seperti Kuta yang jarak dari pinggir lautnya lebar, tapi justu membuat pasirnya menjadi lebih padat karena bekas surutnya air laut. Gue nggak kuat kalau lari di pasir pantai yang nggak padat, pijakannya lebih lembut dan gak stabil, membuat lari juga lebih berat. This sand was just perfect. Tapi garis pantainya pendek, karena pasir, karang dan tebing yang berselang-seling. Belon sampai 1K udah mentok, foto-foto bentar di batu karang, lalu balik lagi ke arah villa, gabung dengan Dey dan Kang Erry yang lagi menikmati sunrise. Sunrise kali ini cukup indah, I must say. Meski sebenarnya mataharinya agak ketutupan awan, tapi semburat jingga yang muncul malu-malu membuat laut pagi ini lebih dramatis.
Tapi nggak banyak waktu buat menikmati sunrise karena jam 9 harus udah check out, lanjut mengunjungi beberapa objek wisata yang masih tersisa untuk kemudian ke pelabuhan ferry dan menyeberang kembali ke Banda Aceh. Persinggahan pertama adalah air terjun Pria Laot, katanya satu-satunya air terjun yang ada di Pulau Weh. Cukup jauh perjalanan mobil yang dilanjut dengan sedikit trekking menelusuri sungai kecil. Nggak lama di sana, cuma foto-foto dan ada yang nyebur, rombongan lanjut makan siang, lalu menuju bunker Jepang di salah satu ujung pulau Weh dan langsung melihat laut lepas. Konon katanya, di sini dulu tempat tentara Jepang mengamati kapal-kapal asing yang kemungkinan datang menyerbu Aceh.
Kelar dari bunker Jepang, mobil diarahkan langsung ke pelabuhan ferry. Sempat ganti baju dulu di pelabuhan, pakai celana panjang biar lebih sopan nantinya di Banda Aceh. Di ferry cuma duduk di gang menikmati AC. Panasnya Sabang benar-benar bikin baju gue basah. Gue pikir, sampai di Banda Aceh bisa langsung ngadem lagi di hotel, tapi perjalanan wisata masih dilanjutkan mumpung masih ada waktu. Kali ini sisa-sisa bukti dahsyatnya tsunami yang menjadi objek wisata. Boat di Atas Rumah yang menyimpan cerita duka penyelamatan puluhan orang, diceritakan oleh bapak pemandu yang juga salah satu korban tsunami wkatu itu. Cerita yang mengharu biru, bikin gue nggak tahan untuk nggak nangis [tapi diam-diam aja!!!!]. Lalu Kapal PLTD Apung yang beratnya 2,600 ton, yang diseret tsunami dari pelabuhan jauh ke daratan.
Kelar dari PLTD Apung, akhirnya rombongan di antar ke hotel, untuk mandi, beristirahat sejenak, dan bersiap-siap lagi menikmati makan malam Ayam Tangkap lagi dan ngopi-ngopi di kota Banda Aceh. Gue ngantuk.

Deep friend chicken with pandan & curry leaves, served with chopped onion sambal, thin sliced crispy dried deer meat, and melinjo fruit crackers
… …