Get Lost in Sabang … then #iRun in Banda Aceh (part 4)
[ Day #4 – 8 Maret 2015 ]
Jam 12 tengah malam, gue masih nongkrong di cafe tengah kota Banda Aceh. Banda Aceh memang terkenal dengan kedai kopi yang enak, katanya termasuk kopi “enak” dengan ramuan “rempah-rempah” khusus yang gak bakal disebutkan sama yang jual. Tapi malam ini gue bukan ngopi yang itu, cuma nongkrong aja dengan rombongan tour, karena ternyata ada pembagian door prize buat peserta.
Gue kebagian sepatu-katak-yang-bikin-gue-bingung-mau-dipake-kapan-karena-toh-gue-gak-bisa-nyelam-yang-akhirnya-gue-tuker-dengan-voucher-membership-gym-1-bulan-dengan-temen-yang-lain. Meski entah bakalan gue pakai voucher-nya atau nggak, yang penting dipegang dulu aja.
Gue sebenarnya ngantuk banget, sudah lewat jam tidur gue. Tapi malam itu emang rencananya akan stay late. Pertama, karena jam 12 teng mau ngasih bday surprise buat Dey [Happy Bday ya!!! Sehat selalu!]. Kedua, rencananya mau mengunjungi Mesjid Agung Baiturrahman. Jadi right after bday surprise, yang niat mau ke mesjid misah dengan yang mau pulang tidur.
Sampai di mesjid, malam itu terasa sangat tenang. Pintu mesjid sudah dikunci, beberapa orang gue lihat tidur-tidur di teras mesjid. Tapi begitu ada rombongan yang datang buat tahajjud malam itu, satu persatu bangun dan memberi ruang buat yang mau sholat. Kesampaian juga buat Tahajjud di mesjid paling besar [dan mungkin paling tua] di Banda Aceh ini.
Tapi kemudian harus balik juga ke hotel – dan gue langsung terlelap.
Pagi jam 5an gue udah bangun lagi. Tidur cuma 4 jam sebenarnya nggak bagus buat rencana gue untuk lari pagi ini. Tapi gue udah niatin jauh-jauh datang ke Banda Aceh untuk lari pagi dari hotel ke Mesjid Agung Baiturrahman. Lagi pula, pagi ini memang akan nemenin Dey untuk melakukan “birthday run” dia. Gue bilang lari 40K dong… sesuai umur, tapi maunya cuma lari 4.0K doang. Yah… sudahlah.
Hampir jam 6, langit masih gelap. Semua sudah siap di depan hotel. Sudah warming up. Gue pakai celana pendek aja – gak jadi pakai compression legging, meski kata Dey, “Pakai celana pendek aja di luarnya, kayak gue!”. Hmm… nggak perlu lah. Malas bikin compression gue keringetan cuma buat lari 4K doang….
So we run.
We run sampai Mesjid Agung Baiturrahman, lalu belok kiri dikit ke Lapangan Blang Padang yang letaknya tak jauh dari Museum Tsunami. Kemarin sore, gue lihat di lapangan ini banyak orang lari sore, jadi gue pikir kalau gue lari Minggu pagi di sini pasti seru. Sebenarnya yang larinya sampai ke Lapangan Blang Padang ini cuma gue dan kang Erry,… sedangkan bday boy-nya entah di mana. Seperti biasa, larinya lambaaaaattttt…..
Di Lapangan Blang Padang, gue lihat ramai orang lari pagi mengelilingi lapangan di trek khusus untuk lari. Harus nyelip-nyelip gue larinya, kadang minggir ke rumput, karena seperti biasa kalau lari di tempat umum seperti ini, pasti banyakan yang jalan dibanding yang lari. Di tengah lapangan, ramai gerai makanan dengan deretan kursi-kursi plastik buat bersantai. Rupanya di sini juga pusat jajanan sarapan di Minggu pagi buat warga kota.
Di sekeliling lapangan, sepanjang trek lari itu, gue lihat ada deretan prasasti-prasasti kecil berbentuk perahu yang separuh tertanam di tanah. Gue baca di tiap prasasti tertulis ucapan terima kasih dalam berbagai bahasa dari belahan dunia. Rupanya itu adalah prasasti-prasasti lambang terima kasih atas bantuan dari negara-negara lain yang membantu rakyat Aceh selama bencana tsunami 2004 lalu.
I wonder, sedikit geli, “prasasti yang ada lambang bendera Australia-nya, bakalan dibongkar gak sih???”
Gue cuma lari 1 keliling aja di Lapangan Blang Padang, gue lihat Soleus gue, sudah 5K. Lumayan. Dan bday-boy masih nggak kelihatan. Gue pikir pasti mereka berhenti lari sampai mesjid saja. Jadi gue segera berbalik, dan menemukan bday boy dan lain-lainnya sibuk foto-foto.
Temen-temen peserta tour yang lain, yang hobby fotografi dan jago [bukan kayak gue yang banyak gaya doang!], ternyata juga sudah sampai di mesjid. Mereka sudah beraksi di di dalam komplek mesjid, mengabadikan pagi. Dey yang pakai legging dan celana pendek, nyusul masuk, dan jadi objek foot-foto. Gue, dan yang lain-lain yang pakai celana pendek, cuma bisa manyun di luar area mesjid, curi-curi masuk untuk foto dari kejauhan mesjid.
But that’s OK. Mesjid Agung Baiturrahman is so beautiful, and I don’t mind to run around it. Lagi-lagi waktu nggak cukup banyak pagi itu untuk lari lagi, karena jam 9 sudah harus check out, dan siap-siap untuk kembali ke Jakarta. And that’s OK, karena gue juga sudah capek.
Jadi kita pulang ke hotelnya naik bentor aja, becak motor.
- Mejeng di depan gerbang Mesjid Baiturrahman, nggak berani masuk
- Curi-curi masuk ke lapangan mesjid
- Pulang naik becak motor [Photo courtesy Ko Har, IG @KoperTraveler]
Setelah proses check out selesai, masih ada hal lain yang harus dilakukan. Pertama rombongan melakukan kegiatan CSR di daerah Ujung Pancu berupa penanaman bibit mangrove. Dulu katanya area ini dipenuhi tanaman mangrove, yang kemudian dibabat oleh penduduk dan lahannya dialihfungsikan sebagai tempat tinggal. Sangat disayangkan, karena tidak saja mangrove menjadi habitat tempat tinggal banyak ikan, hewan-hewan kecil lainya, dan bahkan burung-burung, tetapi mangrove juga sebenarnya berfungsi untuk membantu memecah ombak. Katanya, jika saja hutan mangrove di pesisir pantai Aceh terawat dengan baik, kemungkinan efek tsunami tidak akan seganas bencana lalu.
Selepas CSR, semua dikasih kesempatan belanja oleh-oleh. Tadinya nggak mau beli apa-apa, tapi gue lihat di toko oleh-oleh itu, kopinya murah-murah. Kopi Luwak-nya bisa separuh harga di Jakarta. Lagi pula, pergi liburan nggak bawa oleh-oleh, ntar gue diomelin sama “gang Blacklisted” gue.
So I shopped. Meski bukan pengalaman belanja oleh-oleh yang menyenangkan. Antrinya lamaaaaaa…. kasirnya leleeeeeeeeeeet…… yang bungkusin belanjaan lamaaaaaa………
Tapi ya sudahlah, gue seneng akhirnya bisa lari-lari di Aceh.
…
…